
SPORT

Proyek LNG Bermasalah, Petinggi Pertamina Diperiksa KPK
Proyek LNG Bermasalah, Petinggi Pertamina Diperiksa KPK

Proyek LNG Bermasalah Kembali Menjadi Sorotan Publik Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Memanggil Sejumlah Petinggi Pertamina. Pemeriksaan ini terkait dugaan korupsi dalam pengadaan Liquefied Natural Gas (LNG) oleh PT Pertamina (Persero) selama periode 2011 hingga 2021. KPK menjadwalkan pemeriksaan terhadap empat tokoh penting, baik dari internal Pertamina maupun pihak swasta, untuk mendalami alur dan proses proyek yang dinilai merugikan keuangan negara.
Pemanggilan ini bukan pertama kalinya KPK mengusut kasus serupa di lingkungan BUMN energi. Beberapa waktu lalu, mantan Direktur Utama Pertamina, Karen Agustiawan, divonis sembilan tahun penjara. Ia dinilai bertanggung jawab atas kerugian negara yang timbul dari kerja sama LNG dengan korporasi asing. Kasus ini menjadi perhatian publik karena menyangkut tata kelola sumber daya strategis negara. Selain itu, terdapat dugaan penyalahgunaan wewenang dalam pengambilan keputusan bisnis jangka panjang.
Proyek LNG Bermasalah bukan hanya soal kontrak dan angka, tetapi juga mencerminkan lemahnya transparansi dalam pengadaan energi nasional. KPK menilai penting untuk menelusuri lebih jauh keterlibatan berbagai pihak dalam proses kerja sama tersebut. Penelusuran ini mencakup tahapan pengambilan keputusan hingga implementasi di lapangan. Pemeriksaan para pejabat Pertamina kali ini diharapkan mampu membuka tabir lebih dalam soal praktik-praktik tidak sehat dalam industri migas.
KPK terus menggali informasi dari para saksi dan dokumen-dokumen penting untuk memastikan proses hukum berjalan transparan. Langkah ini menjadi bagian dari komitmen lembaga antirasuah untuk menegakkan hukum dan mendorong tata kelola pemerintahan yang bersih, khususnya di sektor strategis seperti energi.
KPK Periksa Sejumlah Pejabat Penting Terkait LNG
KPK menjadwalkan pemeriksaan terhadap empat individu penting pada Selasa, 29 Juli 2025. Mereka adalah Jarrod Dwi Prastowo selaku Vice President Litigasi Pertamina, Priska Sufhana sebagai Sekretaris Dewan Komisaris Pertamina, serta dua pihak eksternal: Riduwan Taufik dari sektor swasta dan Arief Basuki, mantan Managing Director PPT Energy Trading Singapore PTE Ltd. Pemeriksaan ini dilakukan untuk menguak lebih dalam peran para pihak dalam proyek LNG bermasalah yang menyebabkan kerugian negara. KPK Periksa Sejumlah Pejabat Penting Terkait LNG sebagai bentuk tanggung jawab institusional dalam menuntaskan kasus yang menyita perhatian publik tersebut.
Pemanggilan ini dilakukan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta. Juru bicara KPK, Budi Prasetyo, menjelaskan bahwa pemeriksaan ini merupakan bagian dari pendalaman penyidikan atas kerugian negara yang sebelumnya telah ditemukan oleh pengadilan dalam kasus Karen Agustiawan. Ia menegaskan bahwa KPK berkomitmen mengungkap siapa saja yang terlibat dan sejauh mana peran masing-masing dalam proyek LNG ini. Pemeriksaan lanjutan ini juga menjadi upaya strategis untuk membangun sistem pengadaan yang lebih transparan ke depan. Selain itu, KPK terus menggalang bukti dan keterangan yang bisa memperkuat dakwaan terhadap pihak lain yang diduga ikut terlibat.
Setiap saksi yang dipanggil memiliki peran kunci dalam proses pengadaan LNG, baik dari sisi hukum, pengawasan, maupun operasional perdagangan internasional. Langkah KPK memanggil pihak-pihak ini menunjukkan adanya indikasi kuat keterlibatan lebih luas yang belum terungkap di persidangan sebelumnya. Pendalaman yang dilakukan membuka peluang terbongkarnya jaringan korupsi yang selama ini tersembunyi di balik kerja sama internasional tersebut. Jika terbukti, maka konsekuensi hukum akan menjangkau lebih banyak pihak strategis di lingkungan BUMN dan swasta.
Penelusuran Keterlibatan Dalam Proyek LNG Bermasalah
Penelusuran Keterlibatan Dalam Proyek LNG Bermasalah menjadi fokus utama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penyidikan dugaan korupsi pengadaan gas alam cair (LNG) di PT Pertamina. KPK terus mendalami proses awal proyek ini, termasuk perjanjian kerja sama antara Pertamina dan perusahaan asal Amerika Serikat, Corpus Christi Liquefaction (CCL) LCC. Perjanjian yang diteken sejak 2011 itu dinilai menyimpang dari prinsip tata kelola yang baik, dan mengakibatkan kerugian negara hingga mencapai US$113,8 juta. KPK tak hanya menelusuri tanggung jawab individu, tetapi juga mencermati proses kelembagaan yang berperan dalam menyetujui proyek berisiko tinggi tersebut. Pemeriksaan pun diarahkan pada dokumen, notulensi rapat, serta kronologi pengambilan keputusan yang melibatkan level manajemen atas hingga jajaran pelaksana teknis.
Putusan dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) terhadap mantan Direktur Utama Pertamina, Karen Agustiawan, telah menegaskan bahwa proyek LNG tersebut dijalankan tanpa kepatuhan penuh terhadap prosedur yang berlaku. Hakim menyoroti bahwa keputusan untuk bekerja sama dengan CCL tidak dilakukan melalui mekanisme evaluasi risiko yang memadai. Karena itu, KPK menilai bahwa proyek ini tidak mungkin dikerjakan satu pihak saja, melainkan melibatkan lebih dari satu lini manajemen. Oleh karena itu, penyidik saat ini tengah menelusuri mata rantai pengambilan keputusan yang dimulai dari tahap inisiasi, kajian finansial, legal review, hingga penandatanganan kontrak jangka panjang yang merugikan negara.
Selain memanggil pejabat Pertamina, KPK juga mengarahkan penyidikan terhadap pihak-pihak swasta, termasuk Arief Basuki dari PPT Energy Trading Singapore. Keterlibatan perusahaan luar negeri dalam kerja sama ini memperlihatkan bahwa skandal ini berskala internasional dan sangat kompleks. Penyidik tengah menyelidiki dugaan rekayasa harga, ketidaksesuaian volume pengiriman, hingga manipulasi dokumen yang merugikan negara. Dalam rangka mengusut lebih dalam, KPK menggandeng lembaga antikorupsi luar negeri untuk berbagi informasi. Hal ini memperkuat fakta bahwa Proyek LNG Bermasalah bukan sekadar urusan domestik, tetapi menyangkut kredibilitas Indonesia dalam tata kelola energi global.
Kritik Publik Dan Tuntutan Transparansi
Kasus ini tidak hanya berdampak pada ranah hukum, tetapi juga memberikan efek domino terhadap reputasi Pertamina sebagai salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) strategis di sektor energi. Kepercayaan publik terhadap profesionalisme dan integritas perusahaan negara ini mulai dipertanyakan. Kritik Publik Dan Tuntutan Transparansi pun menyeruak dari berbagai pihak yang menilai bahwa kasus ini seharusnya bisa dihindari jika mekanisme tata kelola perusahaan berjalan secara profesional dan terbuka. Lembaga swadaya masyarakat, pengamat energi, hingga akademisi menyoroti bahwa ketertutupan dalam proses pengambilan keputusan investasi menjadi akar persoalan yang lebih dalam.
Yanuar Nugroho dari Nalar Institute menyatakan bahwa kejadian ini mencerminkan krisis tata kelola dan pengawasan internal yang sistemik. Ia menekankan pentingnya reformasi struktural dalam pengangkatan pejabat strategis di tubuh BUMN agar tak sekadar berbasis kedekatan politik atau loyalitas personal. Menurutnya, kurangnya evaluasi menyeluruh dalam menempatkan pejabat strategis membuka peluang terjadinya penyimpangan keputusan. Di sisi lain, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) juga menyoroti lemahnya sistem pengendalian internal dan absennya transparansi dalam kontrak pengadaan. Ketidakjelasan proses ini sangat memungkinkan terjadi tumpang tindih kepentingan dan penyalahgunaan kekuasaan, terutama dalam proyek bernilai tinggi seperti LNG.
Menyikapi kondisi tersebut, publik dan kalangan sipil mendesak pemerintah segera mengevaluasi prosedur penunjukan direksi BUMN. Mereka juga menyoroti lemahnya sistem pengambilan keputusan investasi yang selama ini berlangsung. Diperlukan regulasi baru yang mewajibkan transparansi dan partisipasi publik dalam setiap keputusan strategis. Terutama yang berpotensi menimbulkan beban fiskal bagi negara. Jika pengawasan tetap longgar dan integritas pengelola sektor energi tidak diperkuat, maka skandal semacam ini hanya akan menjadi siklus berulang. Ini sekaligus menegaskan perlunya perhatian serius terhadap Proyek LNG Bermasalah.